Oleh: Seni Rosdiana (Kontributor Pena Cemerlang)
Sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya menyadari atau memahami apa itu stunting. Istilah ini mungkin masih terdengar asing bagi sebagian besar kalangan, meskipun stunting adalah masalah serius yang dapat berdampak pada tumbuh kembang anak. Kurangnya pengetahuan tentang hal ini berpotensi memperburuk kasus, padahal stunting sangat erat kaitannya dengan kondisi gizi dan kesehatan yang memerlukan perhatian lebih dari semua pihak.
Berdasarkan hasil Survei Nasional (SSGI, SKI) tahun 2023, prevelensi stunting di Kabupaten Bandung mencapai 29,2%. Ketua Harian Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Emma Dety Permanawati mengatakan, “target nasional dalam penurunan prevelensi stunting nasional tahun 2024 sebesar 14% dan target Kabupaten Bandung sebesar 17,81% dapat kita capai.” (RRI.co.id, 30/05/2024)
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka stunting adalah dengan bantuan sosial. Misalnya di daerah Cileunyi, penyerahan bansos bagi Keluarga Rawan Stunting tahap 4 dilaksanakan oleh Badan Pangan Nasional RI melalui Poskesos Desa Cileunyi kepada 136 KPM yang bertempat di Kantor Desa Cileunyi Kulon (cileunyikulon.desa.id, 17/09/2024).
Stunting menjadi ancaman yang serius terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia karena anak yang mengalami stunting tidak hanyak mengalami hambatan pada pertumbuhan fisik saja melainkan mengalami gangguan perkembangan otak. Sehingga akan berdampak besar pada kemampuan belajar dan prestasi disekolah, serta menurunkan produktivitas dan kreatifitas diusia produktif anak.
Jika kita urai, selain asupan makanan banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya stunting. Pertama, pergaulan bebas yang menyebabkan banyak kasus MBA (married by accident/hamil diluar nikah) di kalangan remaja, ini menjadikan lahirnya anak-anak dari orangtua yang belum siap menjadi orangtua. Walhasil orangtua yang minim ilmu dan edukasi ini berpotensi besar tidak bisa mengurus anak dengan baik dan akhirnya bisa menyebabkan stunting.
Kedua, faktor sosial-ekonomi yaitu kondisi dimana pendapatan keluarga yang rendah membuat keluarga hanya memikirkan untuk bisa makan saja, tidak memikirkan kecukupan gizi bagi anggota keluarga.
Ketiga, faktor pendidikan dimana tidak adanya kurikulum yang menyiapkan anak-anak perempuan untuk siap menjadi ibu sejati. Yang bukan sekedar ibu biologis, hanya membesarkan anak tanpa arah tujuan yang jelas. Keempat, kesadaran masyarakat yang rendah terhadap bahaya stunting.
Upaya pemerintah untuk menurunkan angka stunting saat ini belum cukup maksimal seperti pemberian TTD (Tablet Tambah Darah) bagi remaja putri, pemeriksaan dan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil dan pemberian makanan tambahan berupa protein hewani pada anak usia 6-24 bulan, termasuk penyaluran bansos kepada keluarga rawan stunting juga tak mampu menurunkan kasus yang terjadi.
Masalah stunting ini bersifat sistemik, melibatkan berbagai aspek seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, hingga interaksi sosial. Oleh karena itu, solusinya juga harus bersifat menyeluruh. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan dana ratusan miliar, pencapaian target zero stunting dan penghapusan kemiskinan akan sulit tercapai jika akar permasalahannya, yaitu sistem ekonomi kapitalis, tidak diatasi. Hal ini disebabkan karena sistem kapitalisme cenderung memperkaya kelompok yang sudah kaya, sementara kemiskinan tetap akan ada.
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, peran negara cenderung terbatas sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai ra’in atau pengurus yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat. Alih-alih memastikan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, termasuk pemenuhan gizi dan kesehatan yang mencegah stunting, negara lebih berfokus pada pembuatan kebijakan yang sering kali menguntungkan korporasi dan pihak-pihak berkepentingan.
Akibatnya, permasalahan mendasar seperti stunting tidak dapat ditangani secara efektif. Karena kesejahteraan rakyat diserahkan pada mekanisme pasar, penurunan angka stunting sulit tercapai dalam sistem yang tidak menempatkan rakyat sebagai prioritas utama.
Berbeda dengan Islam yang menawarkan solusi komprehensif untuk mengatasi masalah stunting melalui prinsip pengelolaan negara yang berorientasi pada kesejahteraan umat. Dalam pandangan Islam, negara bertindak sebagai ra’in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab memastikan setiap individu mendapatkan hak dasar, termasuk akses pangan yang bergizi, kesehatan, dan pendidikan. Rasulullah Saw. bersabda:
“Seorang imam (pemimpin) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya…”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara Islam diwajibkan mengelola sumber daya alam dengan adil, mendistribusikan kekayaan secara merata, serta memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan atau kekurangan gizi. Selain itu, Islam menekankan pentingnya pola hidup sehat, perhatian pada masa kehamilan, menyusui, serta pemeliharaan keluarga yang kuat, yang kesemuanya berkontribusi dalam mencegah stunting.
Dengan Islam kaffah, negara tidak akan membiarkan generasi lemah baik fisik maupun psikisnya, karena Negara telah menjalankan perannya sebagai ra’in.
Dari Abu Hurairah ra., Nabi Muhammad Saw. bersabda : “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR.Muslim)
Dengan demikian, melalui penerapan sistem Islam yang kaffah semua problematika umat termasuk masalah stunting dapat diatasi.
Wallahu’alam bissawab.